Tuesday, March 23, 2010

Pemanasan Global dan Keseharian Kita

Oleh Nugroho F Yudho

Ancaman pemanasan global sudah disuarakan begitu gencar. Di tingkat diplomasi internasional isu itu sudah berkembang kepada tuntutan agar negara-negara melakukan tindakan nyata untuk mengatasinya.

Toh sampai sekarang sebagian orang masih merasa, isu perubahan iklim sebagai sesuatu hal yang abstrak dan tidak ada hubungan langsung dengan kehidupan dirinya sehari-hari.

Jangankan di Indonesia. Bahkan di negara-negara Barat— tempat ancaman pemanasan global tak henti-hentinya diteriakkan—masih banyak politisi dan pengambil keputusan di pemerintahan yang merasa skeptis dengan pendapat bahwa perubahan iklim ekstrem dan berbagai keanehan iklim belakangan ini adalah akibat nyata dari tindakan umat manusia yang terus ”membakar” Bumi.

Padahal semakin banyak fakta menunjukkan, tidak ada kawasan yang kebal terhadap perubahan iklim global. Dari data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC), suhu dunia meningkat rata-rata 0,7 derajat celsius. Di beberapa wilayah, seperti Afrika, peningkatan mencapai 2,2 derajat celsius-2,7 derajat celsius. Di Antartika, kawasan es yang luasnya dua kali luas Pulau Kalimantan telah hilang karena mencair dua tahun ini—suhu meningkat 2 derajat celsius-3 derajat celsius di kawasan itu.

Ada hewan yang terancam punah karena ekosistemnya tak lagi sesuai. Namun, ada juga hewan yang berkembang biak tak terkontrol, seperti kumbang pinus, yang kini mengancam jutaan hektar pohon pinus di Amerika Serikat dan Kanada.

Juga banyak tanaman yang tidak bisa lagi hidup di lokasi yang dulu. Ini mengubah peta pertanian, perkebunan, dan peternakan di banyak negara.

Masalah di depan mata

Namun, sesungguhnya pemanasan suhu Bumi juga bisa terlihat secara kasatmata. Melelehnya gletser dan mencairnya daratan es telah menaikkan permukaan air laut hingga 2,2 sentimeter per dekade. Jika benar ramalan IPCC, tahun 2100 permukaan air laut akan naik sampai 58 sentimeter, ribuan pulau tenggelam—termasuk sekitar 2.200 pulau di Indonesia.

Peningkatan suhu air laut juga merusak terumbu karang, habitat berbagai jenis ikan. Sebuah siaran di stasiun televisi BBC akhir Oktober lalu mengungkap, begitu banyak jenis plankton terancam musnah akibat kenaikan suhu air laut. Padahal banyak jenis plankton berperan sebagai penyerap CO.

Dampak lain dari peningkatan suhu udara adalah munculnya energi panas dan uap air yang berlebih di atmosfer. Ini meningkatkan potensi badai dan hujan. Kawasan yang basah akan semakin basah karena hujan dan banjir yang terus menyerang dan secara langsung juga mengancam pasokan pangan. Sebaliknya, kawasan yang kering akan semakin kerontang.

Kita tidak tahu sampai kapan memompa miliaran metrik ton CO ke atmosfer tiap tahun, lewat lubang knalpot mobil dan motor kita, dari berbagai peralatan rumah tangga dan kantor, dan dari cerobong pabrik.

Beberapa tahun terakhir kesadaran global akan pentingnya upaya penyelamatan Bumi mulai muncul di banyak kalangan. Isu pemanasan global terangkat di meja-meja diplomasi internasional sampai mewujud dalam Protokol Kyoto—pijakan utama upaya global menangani perubahan iklim. Kini banyak pemerintah bekerja keras mengurangi emisi gas rumah kaca.

Pemerintah AS yang akan mendukung Protokol Kyoto, sejauh ini baru pemerintah lokal yang berkomitmen mengurangi gas rumah kaca sesuai Protokol Kyoto. Sedikitnya 18 negara bagian dan 770 pemerintah kota di AS berjanji memenuhi target pengurangan emisi CO.

Berbagai cara kreatif, seperti penggunaan panel surya, kincir angin, pemanfaatan cahaya alam di gedung-gedung pada siang hari dan penggunaan lampu-lampu hemat energi pada malam hari, sampai upaya menggalakkan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi, kini makin marak.

Keseharian kita

Mungkin kita tak menyadari bahwa bukan hanya pabrik dan industri yang menyebabkan pemanasan global. Di AS sekitar 30 persen emisi CO berasal dari emisi perorangan.

Rata-rata keluarga di AS menyumbang sekitar 22,7 juta ton CO ke atmosfer tiap tahun, setengah di antaranya dari berbagai kegiatan di rumah dan kantor, setengah lainnya dari emisi kendaraan bermotor.

Peran pemerintah memang sentral dalam melahirkan regulasi tentang gas rumah kaca. Namun, peran dunia usaha dan peran individu serta komunitas dalam mengurangi emisi CO juga sangat menentukan. Upaya menyebarkan kesadaran untuk mengurangi gas rumah kaca ini mendorong tujuh perusahaan yang tergabung dalam Green Inisiative Forum menggelar acara Green Festival di Jakarta, Desember mendatang.

Ketujuh perusahaan itu adalah Unilever Indonesia, Panasonic Indonesia, Pertamina, Sinar Mas, serta tiga perusahaan media, yaitu Kompas, MetroTV, dan Female Radio. ”Berapa pun emisi CO yang kita muntahkan, kita sebagai individu dapat berperan menjadi bagian dari solusi pemanasan global. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal kecil, dan mulai dari sekarang,” ujar Direktur Unilever Josef Bataona.

”Buat perusahaan kami, pelestarian lingkungan adalah keharusan karena basis industri kami dari hutan. Bisnis kami hanya bisa berkembang kalau kami memelihara hutan,” ujar G Sulistiyanto, Managing Director Sinar Mas.

Panasonic Indonesia dalam operasinya tak bisa melepaskan diri dari target untuk secara global mengurangi emisi CO lewat berbagai produksinya yang hemat listrik. ”Green festival ialah cara populer untuk menyebarkan kesadaran di masyarakat, memilih peralatan elektronik yang hemat listrik membantu mengurangi pemanasan global,” ujar Ichiro Suganuma, Presiden Direktur Panasonic Indonesia.

Buat negeri ini, upaya pengurangan emisi gas rumah kaca masih relatif baru. Banyak yang bahkan belum paham apa itu pemanasan global. Untuk soal inilah Green Festival digelar. Menyebarkan kesadaran bahwa upaya mengurangi emisi gas rumah kaca bisa dilakukan dari hal-hal kecil dan sederhana.

No comments:

Post a Comment